Oleh: Boy Yendra Tamin
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
Kajian
terhadap positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting selain
dari pada melihat perdebatan-perdebatan yang berakar pada soal pilihan
aliran (teori) hukum mana yang baik atau yang kurang tepat diterapkan di
Indonesia. Hal ini setidaknya dikarenakan adanya pandangan yang
menyatakan, bahwa di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku
hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara
legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga
tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau
mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum
hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah
direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan
deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum
Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan,
termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme”
melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk
kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Untuk
mendapatkan suatu objektivitas terhadap positivisme hukum di Indonesia
tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan esensi dari positivisme
hukum itu pada awalnya, bahwa sebelum abad ke-18 pikiran berkenaan
dengan positivisme hukum sudah ada, tetapi pemikiran itu baru menguat
setelah lahirnya negara-negara modern.
Di sisi
lain, pemikiran positivisme hukum juga tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan positivisme (ilmu) dan sekaligus menunjukkan perbedaannya
dari pemikiran hukum kodrat, dimana hukum kodrat disibukkan dengan
permasalahan validasi hukum buatan manusia, sedangkan pada positivisme
hukum aktivitas justeru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Melalui
positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam
arti yang mutlak dan positivism hukum seringkali dilihat sebagai aliran
hukum yang memisahkan antara hukum dengan moral dan agama, antara das
solen dengan das sein. Bahkan tidak sedikit pembicaraan terhadap
positivisme hukum sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kacamata positivis
tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the
lawgivers), hukum hukum itu identik dengan undang-undang. Positivisme
Hukum sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang
mekanistik dan deterministik.
Bahwa
munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia. [1] Positivisme sebagai suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis
sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung
oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Secara kebahasaan "positif" diturunkan dari bahasa Latin: ponere-posui-positus
yang berarti meletakkan. Maksud lebih jauh dari kata tersebut adalah
bahwa urusan salah-benar atau adil-tidak adil bergantung sepenuhnya pada
hukum yang telah diletakkan. Positivisme merupakan
empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis
ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam
satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi
pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
- Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
- Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme
- Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme
bukan hanya muncul dalam bidang masyarakat, melainkan juga dalam bidang
hukum. Aliran ini diberi nama positivisme yuridis untuk membedakannya
dengan positivisme sosiologis.[2] Esensi dari positivisme hukum adalah
bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan
hukum dengan moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum,
harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang
diinginkan. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah
suatu studi penting, analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi
sejarah, studi sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral,
tujuan-tujuan sosial dan fungsi-fungsi sosial. Pasitivisme hukum melihat
sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan
putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari
aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Dan positivisme hukum
memandang, bahwa penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan,
melainkan harus dengan jalan argumen yang rasional atau pun dengan
pembuktian alat bukti.
Pemikir
positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang
berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum
sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum
dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin
menyatakan “ a law is a command
which obliges a person or persons… Laws and other commands are said to
proceed from superior, and to bind or oblige inferiors”.[3]
Pemikiran Austin itu kemudian banyak mendapat kritik –atau yang
belakangan menjadi focus kritik terhadap positivisme hukum—yakni
berkaitan dengan pandangan Austin terhadap hukum, dimana hukum dipandang
sebagai perintah dari yang penguasa yang berdaulat.
Bagi
positivisme hukum teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum
positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik
atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam
masyarakat.[4] Sebagai sebuah aliran, secara konsepsional dikenal dua
sub aliran dalam positivisme hukum, yakni: 1) Aliran hukum yang
analisis, yang digagas John Austin; 2) Aliran hukum positif yang murni,
dipelopori oleh Hans Kelsen. Dalam konteks Austin yang mengartikan hukum
itu adalah sekelompok tanda-tanda (signs) yang mencerminkan kehendak (wish) dan disusun atau diadopsi oleh pemegang kedaulatan(the sovereign),
hal itu tentu tidak dapat dipisahkan dari pandangan Austin sendiri
sebagai penganut positivisme hukum. Bagaimana konsepsi Austin tentang
hukum berkorelasi dengan pandangannya terhadap hukum positif yakni
sebagai ungkapan tentang aturan berkehendak (the expression of an act of wishing). Sementara
itu menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen
meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)
dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada
ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das
solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum yang merupakan
pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam
aksi-aksi alamiah
Kedua
pandangan ahli hukum yang dinukilkan di atas tentulah tidak bermaksud
untuk mencari atau mengungkapkan tekanan-tekanan dari pemikiran hukum
Austin dan Kelsen, melainkan untuk mengantarkan kita pada pemahaman yang
lebih kompleks terhadap apa yang dinamakan dengan positivisme hukum.
Ini teruma bersangkut paut dengan dua sub aliran yang terdapat dalam
positivisme hukum. Meskipun pembicaraan akan difokuskan pada sub aliran
positivisme hukum yang dikembangkan Jon Austin yang dikenal dengan
aliran hukum yang analisis yang kemudian membedakannya dengan Kelsen
dengan Teori Hukum Murni atau (the Pure Theory of Law)
Positivisme
hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada
sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20 menguasai
pemikiran hukum di Barat, dimana dalam implementasinya terlihat jelas
peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa
penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan demikian
tidaklah mengherankan, apabila kemudian muncul kritik terhadap
positivisme hukum ketika hukum berubah menjadi atau dijadikan penguasa
sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan berkuasa dan bukan tujuan
hukum. Namun hal ini tidak identik dengan positivisme hukum sebagai
penyebab kegagalan kehidupan hukum, khususnya kegagalan dalam penegakkan
hukum.
Dengan
adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan
undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui
dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja
perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negara pun kemudian akan
bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan
negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui
ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah
dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Meskipun
Austin memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang
dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum
dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja,
tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak
oleh masyarakat. Namun demikian dalam prakteknya pada negara-negara
modern saat ini tidak selalu demikian, bahkan hukum positif menginisiasi
moralitas dan nilai atau ketentuan agama dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk sebutlah misalnya UU tentang Pornografi
di Indonesia sebagai satu contoh. Disisi lain memang, terkesan soal
maralitas dan agama menjadi pertimbangan hukum tergantung pada
undang-undang, tetapi lazimnya dalam pembentukan suatu hukum positif
bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Mencermati
berbagai kritik yang diarahkan pada positivisme hukum, beberapa
antaranya masih relevan dengan perkembangannya saat ini dan sebagian
lain tidak. Positivisme hukum selama ini pada intinya selalu disorot
atas esensinya,, bahwa semua hukum adalah perintah (command), yang
dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang
diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua
hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Dalam perspektif negara hukum yang demokratis, pemikiran Austin
terhadap hukum sebagai perintah dari penguasa tidak lagi sesuai dengan
fakta.
Apabila
Austin memandang bahwa pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh
peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal
dari atas (moral dan agama) tidak sepenuhnya terjadi demikian
sebagaimana halnya dengan positivism hukum di Indonesia. Masalah
kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah
bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau
sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam
kenyataannya.
Setidaknya
dalam perspektif kekinian, positivisme hukum pendekatannya tidak lagi
sepenuhnya dengan kaca mata sangat formal, bahkan jauh lebih maju dari
pada saat digagas Austin, sehingga pandangan penegak hukum hanya menjadi
corong undang-undang, atau bahkan ada yang menyimpulkan positivisme
hukum hanya bertumpu pada rumusan atau kata-kata dalam undang-undang
tidaklah selalu demikian. Positivisme hukum saat ini jauh lebih maju
dari pada apa yang sering dilontarkan kalangan anti positivisme hukum.
Sebagaimana
juga halnya di Indonesia, kritik terhadap hukum di Indonesia juga
diinspirasi oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan, sedangkan nilai-nilai moral dan norma di
luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh
undang-undang. Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh teori positivisme,
artinya implementasi kehidupan hukum di Indonesia berdasarkan pada
teori positivisme hukum, tetapi teori positivisme hukum juga memiliki
kekurangan, yakni tidak menghiraukan adanya nilai-nilai moral di
masyarakat.
Di
Indonesia beberapa waktu belakangan, terlihat arah pemikiran terhadap
positivisme hukum yang telah ditempatkan sebagai penyebab kegagalan
kehidupan hukum yang menjauh dari rasa keadilan masyarakat. Pada intinya
krtik yang dilontarkan adalah bahwa terjadinya kegagalan hukum dalam
memainkan peranan yang sejati adalah akibat penerapan teori positivisme
hukum dalam pembangunan hukum. Dimana dalam pemahaman teori positivisme
hukum, bahwa hukum itu tidak lain adalah yang terdapat dalam
undang-undang, dan bukan apa yang seharusnya, serta mengabaikan aspek
sosial di masyarakat.
Dalam
berapa kajian dan kritik yang dilakukan terhadap positivisme hukum,
termasuk terhadap penerapan positivisme hukum di Indonesia datang dari
para penganut penganut hukum responsif–sintesis dari berbagai aliran
hukum, terutama aliran hukum alam, mazhab sejarah hukum, aliran
sociological Jurisprudence, Legal Realisme, maupun Critical Legal
Studies movement. Hukum responsif menganggap positivisme hukum itu
sekedar menempatkan hukum di sebuah ruang hampa, menjadi “aturan mati “
sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab hukum. Positivisme hukum
telah menjadikan hukum itu sesuatu yang a sosial, padahal hukum itu
diciptakan untuk manusia demi tujuan sosial tertentu. Sementara itu
dalam pandangan Marx misalnya, menurut dia proses-proses hukum itu pada
hakekatnya adalah proses-proses dialektika yang penuh konflik.Konflik
antara suatu kepentingan dan kepentingan lain yang berposisi sebagai
antitetiknya. Hukum dicurigai sebagai norma yang dipositifkan demi
terlindunginya suatu kepentingan tertentu atau demi termenangkannya
konflik tertentu. Maka menurut Marx, sejak awal diguga bahwa hukum akan
lebih berkemungkinan hukum tergemgam ditangan elit dan kelas kuas, dan
mereka itulah yang akan lebih berkemampuan mendayagunakan hukum formal
untuk memenangkan konflik kepentingan.
Kritik
yang dilontarkan Marx terhadap positivisme hukum di satu sisi bisa
dipahami, namun disisi lain terkesan –sebenarnya—tidak membicarakan
positivisme hukum itu sendiri. Artinya yang dibicarakan Marx adalah
tingkah laku yang mengitari positivisme hukum yang memberi peluang
terjadinya penyalaggunaan positivisme hukum oleh elit atau kelas kuat.
Dalam konteks ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan atau penerapan
paham hukum apa-pun selalu memiliki kelemahaman dan tersedia (terbuka)
pintu untuk menyimpang dari nilai-nilai yang telah ditetapkan
(disepakati). Persoalan pemamfaatan hukum oleh elit atau kelas kuat
untuk kepentingannya bukanlah persoalan positivisme hukum, tetapi
berkaitan dengan elemen dan fungisoanalitas negara (pemerintah) dalam
kerangka mewujudkan tujuan negara. Meletakkan ketidak setujuan terhadap
positivisme hukum dengan membenturkan antara kelas elit dengan kelas
masyarakat papa, tentunya tidak sepenuhnya bisa diterima ketika
dihadapkan pada kehidupan hukum dalam walfare state. Masalah yang nyata
sebenarnya adalah terjadinya penguasa negara tidak melakukan tugas dan
kewajibannya serta fungsionalitasnya -- sebagaimana halnya dengan di
Indonesia-- yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam
perspektif ini, maka apa yang terjadi terhadap positivime hukum hanya
imbas dari pengejewantahan politik penguasa dan minimnya kontrol atau
akses masyarakat terhadap penguasa dalam pembentukan undang-undang.
Dalam hubungan tersebut, maka menjadi tidak relevan kritik terhadap positivisme hukum dengan mengajukan dalil, bahwa kehidupan
masyarakat telah terlanjur terstruktur secara amat hierarkis dan
didominasi oleh elit-elit korup (penguasa feodal, birokrat,
kapitalis-borjuis, dll.), menyajikan hukum tak lagi dalam wujudnya
sebagai refleksi nilai keadilan atau asas kepatutan. Dalil ini jelas
tidak bicara soal positivism hukum, melainkan bicara soal prilaku
politik dan spesifiknya prilaku penguasa ketika nilai-nilai demokrasi
yang dianut dalam suatu negara tidak terjelma secara fungsionalitas yang
di-idamkan atau dipahami secara konsepsional.
Kekeliruan
dalam menanggapi positivisme hukum dengan mengambil garis benturan
berupa hukum dimanfaatkan penguasa dengan kebutuhan hukum kaum papa,
tentunya melahirkan preposisi yang tidak logis dan cenderung
subjektif-sinis. Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran
yang menyatakan, bahwa hukum tak hanya telah berubah bentuk dalam wujud
norma-norma constitutum yang positif-formal dan rasional, ialah telah menjadi lege atau lex dan tidak lagi bias bertahan ius,
melain kan lebih jauh lagi hukum telah berubah secara struktural maupun
fungsional sebagai alat pembenar eksploitasi yang vulgar, dengan mereka
yang terdudukkan sebagai kawula-kawula papa yang telah dan akan tetap
menjadi korbannya.
Akibat
dari formulasi kritik terhadap positivisme hukum yang tidak logis itu
akhirnya sampai juga pada kesimpulan, bahwa pembuat putusan-putusan
hukum, semisal hakim, tak lagi dikukuhi dalam konsep menurut paradigma
lamanya yang positivistik, ia cuma sebagai “corong yang sebatas
berkemampuan untuk mengucapkan bunyi undang-undang’. Preposisi ini
sebenarnya bukanlah suatu kritik yang relevan dengan positivisme hukum
secara konsepsional, tetapi menyangkut banyak aspek. Bukankah
pembentukan hukum dalam kerangka positivisme hukum tidak identik dengan
apa kata elit atau apa kata kelas kuat, tetapi dalam positivisme hukum
yang sejati sesungguhnya hukum dibangun melalui suatu proses yang
menyeluruh sebelum dipositifkan. Karena itu pandangan yang menyatakan
bahwa law is not (always) society. Law is in society, most of all it exists in a plural and complex society sebenarnya tidak pula relevan.
Dengan
memahami kritik yang dilontarkan terhadap psositivisme hukum sebagaimana
dikemukakan di atas, maka pertanyaan pentingnya apakah memang penerapan
hukum positivisme hukum sudah seharusnya di tinggalkan di Indonesia
karena mengandung cacat ideologis ? Tidaklah mudah untuk menjawab
pertanyaan yang sederhana ini, tetapi menjadi soal yang penting bila
dicermati kehidupan hukum di Indonesia saat ini (pasca reformasi).
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran
positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu
pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang
semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang
menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam
wujudnya sebagai perundang-undangan.[5] Soetandyo memaparkan, bahwa
apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum
kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam
kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi
sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang
mengkaji “prilaku” benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas
itu dihukumkan atau dipositifkan sebagai norma dan tidak pernah
dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau
dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh
kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman
pemberian sanksi.[6]
Lebih
jauh mengenai posititivisme hukum, Ehrlich dan Pound mengembangkan
pemikirannya pada dekade kedua abad XX. Meneruskan pemikiran mereka,
pada periode selanjutnya bermunculan berbagai gerakan pemikiran yang
menggugat pengaruh mendalam filsafat positivisme terhadap ilmu sosial
seperti yang pernah dirintis oleh Auguste Comte (1789-1857).[7] Dua dekade setelah kelahiran sociological jurisprudence, berkembang mashab realisme hukum (realist jurisprudence).
Gelombang kritik terhadap positivisme hukum tak terbendung sampai
akhirnya bersemi dengan luar biasa pada dekade 60-an dan 70-an. Maraknya
gerakan sosial pada kedua dekade tersebut menjadi lahan tumbuh yang
subur bagi kritik tersebut. Pada dua dekade ini, setelah melalui zaman
kelesuan ekonomi akibat perang dunia I dan II, Eropa daratan dan Amerika
Serikat, tumbuh menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan. Amerika Serikat bahkan disimpulkan sudah menjadi sebuah
masyarakat yang makmur (affluent society). Namun, kemajuan yang membawa kemakmuran ini dianggap justru menjerumuskan manusia ke dalam dehumanisasi.
Kemajuan hanya diukur dari aspek materi. Manusia hanya sekedar mesin
pencetak uang dengan harus kehilangan hati nurani dan hubungan-hubungan
emosional.[8] Kapitalisme dan modernitas yang didukung oleh ilmu-ilmu
sosial yang berbau positivistik, dituduh sebagai biang keladi dari
kemerosotan ini.
Persoalannya
kemudian, bagaimanakah dengan perkembangan positivisme hukum di
Indonesia ? Di awal bagian ini telah disinggung bahwa hukum Indonesia
tumbuh dan berkembang dalam ranah positivisme. Meskipun belakangan
muncul desakan untuk meninggalkan teori positivisme hukum di Indonesia
karena dipandang telah gagal dalam menciptakan kehidupan hukum yang
lebih baik. Hal yang harus sulit untuk diingkari, persoalan pembangunan
hukum dan problem hukum di Indonesia terkadang dipengaruhi juga oleh
pengalaman di negara-negara lain yang pada akhirnya melakukan perubahan
paradigma hukumum. Di Amerika misalnya, pada sekitar tahun 70-an timbul
persoalan-persoalan sosial, kejahatan, kemerosotan lingkungan, protes
massa, hak-hak sipil dan kemiskinan, kerusuhan dikota-kota serta abouse of power
pada tahun 1960-an , masyarakat merasakan betapa hukum gagal untuk
menangani berbagai problem sosial tersebut.[9] Kondisi yang berlansung
di Amerika tersebut melahirkan apa yang kemudian pemikiran teori sosial
tentang hukum. Apa yang terjadi di Amerika tersebut –meskipun tidak sama
persis dan dengan kondisi sosial-budaya yang berbeda—juga dialami
Indonesia.
Sejumlah
persoalan dalam kehidupan masyarakat, negara dan pemerintahan di
Indonesia juga telah diposisikan sebagai kegagalam hukum mengatasinya.
Kegagalan hukum itu kemudian mengarah pada kegagalan penerapan
positivisme hukum di Indonesia. Apa yang sudah berkembang dipublik atas
penilaian kegagalan hukum Indonesia mengatasi masalah masyarakatnya,
melahirkan gagasan apa yang dinamakan hukum progresif disekitar tahun
2002 yang digagas atas pemikiran hukum positif (analytical jurisprudence) yang dalam praktiknya dalam realiatas empiric di Indonesia tidak memuaskan.
Gagasan
Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum
di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun
1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan
persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi
Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita
ideal tersebut.[10]
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence,
Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan
manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa
manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang
serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum
Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum
tidak hadir untuk dirinya – sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu
hukum positif–tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu
predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).[11]
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang menggunakan sarana analytical jurisprudence yang
bertolak dari premis peraturan dan logika. Bagi Ilmu Hukum Positif
(dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan. Ini yang dikritik
oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-pasal
jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat
kompleks. Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari
realitas-empirik jelas sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum
yang sebenar ilmu (genuine science). Hukum Progresif secara sadar
menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan
masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka Hukum Progresif dapat
dikaitkan dengan developmetal model hukum dari Nonet dan Selznick.
Hukum Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif.34 Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau sebagaimana disebutkan oleh Mulyana dan Paul S.Baut bahwa hukum responsive mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang secara social terintegrasi.
Untuk
tidak terjerumus dalam pertarungan antara positivism hukum dengan hukum
progresif, kedua pemikiran hukum yang dikemukakan dalam kesempatan ini,
hanya ingin memastikan bahwa sebenarnya tidak ada suatu teori hukum yang
benar-benar ideal dan mampu menjawab keseluruhan permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Dalam konteks ini apa yang dikemukakan Gustav
Radbruch patut dijadikan landasan bagi setiap pemilihan akan teori
hukum. Radbruch mengemukakan, bahwa ada tiga nilai dasar hukum, yaitu;
keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. Masing-masing nilai tersebut
bias bertentangan satu sama lain, sehingga timbullah ketegangan antara
ketiganya. Hukum bias saja pasti namun belum tentu adil. Hukum bisa saja
memunculkan kepastian tetapi belum tentu adil. Sebaliknya hukum bisa
saja adil tetapi belum tentu berkepastian. Hukum bisa saja bermamfat
tetapi belum tentu adil dan bekepastian. Jika hukum diharapkan
menyelesaikan konflik atau diharapkan memberikan penyelesaian atas
masalaah yang dihadapi anggota masyarakat, maka hukum mana yang mana
yang mampu menyelesaikannya ? Kasus Bibit-Chandra yang mengundang
perhatian publik di Indonesia, setidaknya telah memberikan kita pada
soal-soal dilematis akan pilihan teori hukum itu, kecuali kita
memaksakan adil sepihak dan tidak bagi pihak yang lain.
Dari
sejumlah persoalan yang terinventarisasi dari penerapan positivism hukum
di Indonesia dengan sejumlah kritik yang menyertainya, kiranya tidak
dapat dipukul rata. Kritik terhadap psitivisme hukum di Indonesia yang
berangkat dari pandangan Austin terhadap hukum, berkemungkinan terhadap
hukum pidana dan atau pun terhadap hukum-hukum peninggalan kolonial.
Dalam konteks ini positivisme hukum di Indonesia harus dibedakan dengan
implementasi positivism hukum di Barat. Positivisme Hukum di Indonesia
sebenarnya telah berubah dari wujud aslinya, dimana pembangunan dan
pembentukan hukum di Indonesia berlansung dibawah konsep negara hukum
yang berlandaskan Pancasila. Dengan UUD 1945 sebagai dasar negara yang
didalamnya termuat cita negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya
Positivisme hukum di Indonesia adalah positivism hukum yang tidak
memandang hukum sebagai perintah penguasa berdaulat atau hukum
dipisahkan dari moral dan agama.
Corak
negara hukum Indonesia itu tentulah sekaligus menjadi karakter dari
positivisme hukum Indonesia. Pada tahap ini perlu menjadi pemikiran
mendalam, apakah benar positivisme hukum Indonesia sudah saatnya
ditinggalkan dan beralih paradigm hukum baru --ke teori hukum
progresif--. Atas dasar ini pengalaman Amerika misalnya , ketiga hukum
tidak mampu menyelesaikan masalah masyarakatnya sehingga memerlukan
paradigma hukum baru. Namun apa yang terjadi di Amerika belum tentu
menjadi otomatis di Indonesia , jika dalam kenyataan di Indonesia banyak
konflik yang belum terselesaikan, namun akar masalahnya belum tentu
sebagai ketidak-berdayaan hukum. Dalam hal ini benar adanya, bahwa
kosmologi Indonesia dalam penyelesaian konflik berbeda dengan kosmologi
bangsa Amerika yang serba “lawyer centered” . Indonesia memiliki versi rule of law
yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki nilai-nilai seperti
kekeluargaan, musyawarah, gotong royong. Tradisi positivisme hukum
Indonesia sepertinya sudah hidup dalam nuansa kosmologi Indonesia yang
demikian, sehingga persoalannya bagaimana menguatkan posotivisme hukum
tersebut dalam tahap aksiologi-nya. Pada tahap aksiologi inilah
sebenarnya positivisme hukum di Indonesia berkembang dalam ranah yang
cenderung inkonsisten.
Kosmologi bangsa Indonesia yang tidak hidup dalam tradisi “lawyer centered”,
sepertinya akan menjadi masalah yang berkepanjangan, sekalipun teori
positivisme hukum diganti dengan teori hukum progresif sekalipun. Bisa
dibayangkan bagaimana rumitnya apabila hukum selalu dikaitkan
pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Dengan
demikian, positivisme hukum yang diterapkan di Indonesia yang tumbuh di
bawah konsepsi hukum tool social of engineering
sesungguhnya sudah memberikan jawaban bagi hukum sebagai penyelesai
konflik atau pemasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika demikian halnya,
maka persoalan postivisme hukum di Indonesia adalah belum didukung
suatu tradisi pembentukan hukum yang memadai. Terlalu banyak atau acap
kali pembentukan hukum positif di Indonesia dibentuk atas kepentingan
sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih cenderung
dibangun di atas kepentingan-kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak
sedikit hukum Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan mengandung
sejumlah kekurangan dan kelemahan juridis dan sebagainya.
Pembentukan-pembentukan hukum positif yang demikian tentu secara tidak
lansung akan berpengaruh pada penegakkannya, dimana penegakkan hukum
seperti hakim dan Jaksa pada ketiadaan ukuran yang jelas dalam
menerapkan peraturan perundang-undangan. Inilah yang kemudian dipahami
sebagai hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat dan disisi lain hukum
tampak tidak berkepastian.
Atas dasar
pemikiran yang demikian itu, Soekanto dengan tegas mengatakan bahwa
pemisahan secara ketat antara segi normatif dengan segi perilaku dari
gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi
antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum.
Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut
merupakan bagian dari kesatuan. Jadi, persoalan pokoknya bukanlah
kembali pada segi normatifnya, namun bagaimana menyerasikan kedua segi
tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatan-pendekatannya.
Bagaimanapun juga, ternyata pendekatan
holistik sebagaimana ditawarkan oleh hukum progresif bukan berarti
mengecilkan arti peraturan tertulis sebagai salah satu bentuk kepastian
hukum. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita, bahwa masalah
positivisme hukum di Indonesia bukanlah masalah positivisme hukum itu
sendiri, melainkan adalah berkaitan dengan perlakuan dan prilaku yang
berkembang terhadap positivisme hukum itu sendiri. (***)
Referensi:
[1] Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan keempat (Surakarta: MuhammadiyahUniversity Press, 2005), p. 60-1
[2]
Positivisme yuridis memandang hukum sebagai suatu gejala sendiri
sedangkan positivisme sosiologis hukum diselidiki sebagai suatu gejala
sosial melulu, Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,
Cetakan ketujuh (Yogyakarta, Kanisius, 1993), p. 122-8
[3] John Austin, The Province Of Jurisprudence, dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 114
[4] Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum. Armico-Bandung, 1992. hlm. 79
[5] SoetandyoWignjosoebroto, “Positivisme dan Doktrin Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Kritik-kritik terhadap Doktrin Ini” Materi Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum UII, 2007, p. 1-2
[6] Ibid, p. 3.
[7]
Comte memang dijuluki sebagai Bapak Positivisme. Dialah yang
memperkenalkan istilah ‘positivisme’, Positivisme menentang metafisika
karena menjelaskan fakta atau kebenaran dengan tidak mendasarkan diri
pada fakta yang teramati. Menurut positivisme, fakta atau kebenaran
adalah sesuatu yang bisa diuji dengan inderawi. Hanya ilmu pengetahuan
yang paling sahih dalam menjelaskan kenyataan atau fakta yang teramati.
Pendapat semacam itu membuat positivisme dekat dengan empirisisme.
Namun, empirisisme masih menerima kebenaran yang didapat dari pengalaman
subyektif yang bersifat rohani. Lihat dalam F. Budi Hardiman, “Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche’, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 204-205.
[8] Dalam literatur sosiologi dan pemikiran politik, dekade ini dilihat sebagai masa bangkitnya kelompok kiri baru (new left). Istilah kiri baru dipakai untuk membedakannya dengan istilah kiri lama (old left).
Generasi kiri baru hidup di saat negara-negara Eropa dilanda krisis
karena kelesuan ekonomi dan fasisme. Motor utama kelompok kiri lama
adalah orang-orang Yahudi Rusia dan Eropa Timur. Karena merasa terancam
dengan rejim fasis, sebagian dari mereka kemudian migrasi ke Amerika
Serikat, seperti yang dilakukan oleh Theodor Adorno dan Herbert
[9]
Philippe Nonet &Philip Selznich,Law and Society in
Transitiopn:Toward Responsive Law,New York:Harper Colophon Books,
1978,dikutip dari Jurnal Hukum Progresif,Pencarian ,Pembebasan dan
Pencerahan,Vol:1/Nomor1/April 2005, Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, hal.2.
[10] Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif”. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hal. 3-5.
[11] Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif”. Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005. hal. 16
0 komentar:
Post a Comment