Tuesday, July 29, 2014

Perceraian Menurut UU Perkawinan

Leave a Comment
Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP kan dijelaskan, yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan
Dengan demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perceraian. UUP perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun pengadilan Negeri ada istilah Cerai Talak. Sedangkan putusan pengadilan sendiri ada yang disebut sebagai cerai gugat. Disinilah letak perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an, khuluk, fasikh dan sebagainya. Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam produknya.
Pada penyebab perceraian, pengadilan memberikan legal formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Surat talak tersebut diberikan dengan mengacu pada alasan-alasan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat 2, dimana salah satu pihak melanggar hak dan kewajiban. Sehingga, walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada dasarnya secara syar’i, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap. Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1 Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut.
Melalui mediasi tersebut, banyak permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan. Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan. Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah selama beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak tahun 2003, membawa banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi.
Alasan-alasan cerai yang disebutkan oleh UU Perkawinan yang pertama tentunya adalah apabila salah satu pihak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat. Atau dalam UU dikatakan disitu, bahwa salah satu pihak berbuat zina, mabuk, berjudi, terus kemudian salah satu pihak meninggalkann pihak yang lain selama dua tahun berturut-turut. Apabila suami sudah meminta izin untuk pergi, namun tetap tidak ada kabar dalam jangka waktu yang lama, maka istri tetap dapat mengajukan permohonan cerai melalui putusan verstek. Selain itu, alasan cerai lainnya adalah apabila salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya, misalnya karena frigid atau impoten. Alasan lain adalah apabila salah satu pihak (biasanya suami) melakukan kekejaman. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menambahkan satu alasan lagi, yaitu apabila salah satu pihak meninggalkan agama atau murtad. Dalam hal salah stau pihak murtad, maka perkawinan tersebut tidak langsung putus. Perceraian merupakan delik aduan. Sehingga apabila salah satu pasangan tidak keberatan apabila pasangannya murtad, maka perkawinan tersebut dapat terus berlanjut. Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan ataupun gugatan cerai.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya adalah kembali. Terdapat dua jenis talak, yaitu talak Ba’in dan talak Raj’i. Talak Raj’i adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Ba’in, yaitu perceraian karena diajukan oleh sang istri. Talak Ba’in terdiri atas dua jenis, yaitu Ba’in Kubro dan Ba’in sugro. Talak Ba’in Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil). Sedangkan untuk Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi pernikahan sebagaimana awal menikah dulu.
Secara umum, masyarakat hanya mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak. Produk Cerai talak adalah Talak Raj’i, dimana untuk rujuk tidak harus melalui akad baru. Rujuk dalam Talak Raj’i cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat adalah talak Ba’in, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dalam Talak Bail Kubro, terdapat Li’an dan dzihar. Li’an artinya adalah sumpah seorang suami dan istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, Li’an merupakan perbuatan yang harus diceraikan dengan talak Ba’in Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib kumpul dengan istrinya tanpa basa basi. Muhalil tidak boleh disertai dengan mut’ah
Dalam hal sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus dipersiapkan oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak, kurang lebih sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan gugatan, melainkan permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama. Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz, artinya seorang istri yang tidak taat kepada suami.
Timbul suatu pertanyaan, mengapa apabila yang mengajukan cerai adalah perempuan, maka perempuan harus melewati masa iddhah dan membuat akad nikah baru. Hal ini berpulang bahwa awalnya cerai talak itu adalah hak dari laki-laki dalam artian suami mohon dilegalkan perceraiannya dengan alasan-alasan yang disampaikan sesuai dengan alasan hukum dan UU.
Apabila setelah bercerai baik suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa hukj tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah, yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak, maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila pasangan suami sitri menikah secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai. Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU Perkawinan serta merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan menerima menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara khususnya tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya secara agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan secara Islam.
Banyak pasangan yang membuat perjanjian pranikah mengenai pemisahan harta. Biasanya masing-masing pihak baik istri maupun suami membuat perjanjian pranikah yang secara garis besar isinya adalah tidak adanya percampuran harta. Sehingga apabila mereka meutuskan untuk bercerai, maka baik istri maupun suami tetap berhak atas harta yang mereka peroleh selama perkawinan tanpa mengkhawatirkan adanya upaya pengambilalihan oleh pihak lain. Apabila mereka bercerai, maka perjanjian pranikah tersebut dapat langsung dieksekusi, yaitu setelah perkara percerain telah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Delik tanggal 2 Juni 2003
Narasumber: Drs.H. Helmy Thohir
(Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur)
Sumber:http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=219&tipe=kolom
Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

0 komentar:

Post a Comment

Social Icons

Followers