Monday, July 28, 2014

PERCERAIAN MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974

Leave a Comment
  1. A.     Pengertian Perceraian
Perceraian adalah berakhirnya perkainan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.
Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan “yang menyakitkan” yang harus dijalani. Itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi, maka perceraian yang diambil.
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut “talak” atau “furqoh” adapun arti dari talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian.
  1. B.     Dasar hukum perceraian
Putusnya perkawinan diatur dalam :
v  Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
v  Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata.
v  Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

  1. C.     Macam-macam putusnya perkawinan
Ada tiga macam putusnya perkawinan menurut pasal38 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 113 inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam, yaitu karena :
  1. Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebakan salah satu pihak yaitu suami dan istri meninggal dunia.
  1. Perceraian
Putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal yaitu :
v  Talak adalah ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
v  Berdasarkan gugatan perceraian yaitu perceraian yang disebabkan adanya gugatan dari salah satu pihak, khususnya istri ke pengadilan.
Talak dibagi menjadi 5 macam yaitu:
  • Talak raj’I yaitu talak ke satu atau kedua, dimana suami berhak ruju’ selama istri dalam masa iddah.
  • Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
  • Talak Ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk kedua kalinya, talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak boleh dinikahi lagi, kecuali pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.
  • Talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan oleh istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci itu.
  • Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 118 sampai dengan pasal 122 inpres No 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam).
  1. Keputusan Pengadilan.
Berakhirnya perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  1. D.    Alasan-alasan Perceraian
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum islam disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :
  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
  3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
  6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar Ta’lik Talak.
  8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Adapun alasan-alasan yang lain yaitu:

  1. Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa menerima keadaan ini, maka dia bisa meminta kepada sang suami untuk menceraikannya, sementara istri benar-benar tidak sanggup menerimanya, pengadilan yang menceraikannya.
  2. Karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul, untuk melindungi kepentingan dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan pengadilan berhak menceraikannya.
  3. Karena kepergian suami dalam waktu yang relative lama, tidak pernah ada dirumah, bahkan imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu demi mencari ilmu, bisnis, atau karena alasan lain. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu dan merasa dirugikan, pengadilan yang menceraikannya. Berapa ukuran lama masing-masing masyarakat atau Negara bisa membuat batasan sendiri melalui undang-undang.
  4. Suami dalam status tahanan atau dalam kurungan. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu, maka secara hukum, ia bisa mengajukan masalahnya kepengadilan untuk diceraikan.

  1. E.     Akibat perceraian
Diatur dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 149 inpres No 1 Tahun 1991. Akibat putusnya perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
  1. Akibat talak
  2. Akibat perceraian
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
ü  Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang maupun benda.
ü  Member nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama dalam masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in dan dalam keadaan tidak hamil.
ü  Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla al dukhul.
ü  Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Yang menjadi hak suami terhadap istrinya melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah. Waktu tunggu atau masa iddah bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
  1. Perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul waktu tunggu ditetapkan
130 hari
  1. Perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bai yang masih haid ditetapkan tiga kali suci sekurang-kurangnya Sembilan puluh hari dan bagi yang tidak haid juga ditetapkan Sembilan puluh hari
  2. Perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan.
  3. Perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai dia melahirkan (pasal 153 ayat 2 inpres Nomor 1 Tahun 1951).
  4. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
  5. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Yang menjadi kewajiban istri yang di talak oleh suaminya dalam masa iddah adalah :
  1. Menjaga dirinya.
  2. Tidak menerima pinangan.
  3. Tidak menikah dengan pria lain
Sedangkan yang menjadi hak istri dalam masa iddah mandapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 156 inpres Nomor 1 tahun 1991 ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu :
  1. Terhadap anak-anaknya
  2. Terhadap harta bersama
  3. Terhadap muth’ah
Ada tujuh akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhaap anak-anaknya yaitu :
  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya diganti oleh :
    1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
    2. Ayah
    3. Wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
    4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
    5. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih hadanah dari ayah dan ibunya
    6. Apabila pemegang hadanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunya hak hadanah pula.
    7. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan anaknya dan pemilikan anaknya yang tidak turut padanya (pasal 156 inpres Nomor 1 tahun 1991)
Dalam pasal 41 UU Nomor 1 tahun 1974 disebutkan tiga akibat putusnya perkawinan karana perceraian terhadap anak-anaknya sebagai berikut :
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suamiuntuk membiayai penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.
Bagi suami atau istri yang khusus karena talak dan perceraian berhak mendapatkan harta bersama. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama dalam perkawinan hak suami dalam harta bersama sebagian dari harta bersma itu begitu juga istri mendapatkan bagian yang sama  besar dengan suami.
Disamping itu, kewajiban lain dari bekas suami adalah memberikan muth’ah kepada bekas istrinya. Muth’ah adalah berupa pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak baik benda atau uang dan yang lainnya. Syarat pemberian muth’ah ini adalah :
  1. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al dukhul
  2. Perceraian itu atas kehendak suami
Pemberian muth’ah yang dilakukan oleh bekas suami kepada istrinya diberikan tanpa syarat apapun.
Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

0 komentar:

Post a Comment

Social Icons

Followers