Friday, February 21, 2014

Akil Didakwa Terima Rp 50 Miliar Lebih

Leave a Comment
JAKARTA (Suara Karya): Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar didakwa telah menerima uang Rp 50 miliar dari sedikitnya lima sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Akil diancam dengan hukuman maksimal berupa penjara selama 20 tahun.
Saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/2), jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pulung Rinandoro, mengungkapkan bahwa Akil menerima lebih dari Rp 50 miliar dari seluruh pengurusan sengketa pilkada tersebut.
Ada lima dakwaan yang membuatnya bisa mendekam di penjara selama itu sebagaimana diungkapkan JPU KPK dalam surat dakwaan terhadap Akil.
Dalam dakwaan pertama, JPU KPK menyatakan Akil menerima Rp 3 miliar untuk permohonan keberatan atas hasil pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah; untuk mengabulkan keberatan atas hasil sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Banten, dia minta Rp 1 miliar. Selanjutnya menerima Rp 10 miliar dan 500 ribu dolar AS untuk permohonan keberatan hasil pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan.
Untuk mengurus permohonan hasil pilkada Kota Palembang, Akil minta Rp 19,86 miliar dan sekitar Rp 500 juta untuk mengurus permohonan keberatan atas hasil pilkada Kabupaten Lampung Selatan.
"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan berupa menerima hadiah atau janji berkaitan dengan jabatannya," ujar Pulung Rinandoro saat membacakan surat dakwaan atas nama Akil di hadapan majelis hakim yang diketuai Suwidya.
Atas perbuatan itu, Akil diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan kedua, Akil didakwa menerima gratifikasi yang diduga diberikan untuk memengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil pilkada di Kabupaten Buton. Untuk itu, dia diduga menerima Rp 1 miliar.
Dia juga menerima dana untuk memengaruhi sengketa pilkada Kabupaten Pulau Morotai sebesar Rp 2,989 miliar. Selanjutnya Akil juga didakwa menerima Rp 1,8 miliar untuk memengaruhi sengketa hasil pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain itu, ada Rp 10 miliar yang diterimanya untuk memengaruhi permohonan keberatan hasil pilkada Jawa Timur.
Atas perbuatan itu, Akil diancam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan ketiga Akil disebut telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri saat Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem diminta memberikan kepadanya uang Rp 125 juta.
Hal itu dilakukannya usai Alex menanyakan permohonan keberatan atas hasil pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel. Namun, Akil menyebutnya sebagai ongkos konsultasi ditambah dengan permintaan agar selaku Ketua MK membantu mempercepat putusan sengketa itu.
Untuk perbuatan itu, Akil diancam pidana sesuai Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan keempat Akil disebut menerima hadiah uang sekitar Rp 7,5 miliar dari adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Pemberian itu diduga karena Akil menggunakan kekuasaannya sebagai Ketua MK untuk mengurus hasil sengketa pilkada di Provinsi Banten.
Untuk tindakannya itu, Akil diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Sedangkan pada dakwaan kelima, Akil disebut bersama Muhtar Efendy dari 22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013 didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatannya itu diancam pidana Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Akil juga didakwa melakukan praktik pencucian uang sejak 17 April 2002 sampai dengan 21 Oktober 2010. Untuk itu, dia diancam pidana pada Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Selama mendengarkan pembacaan berkas dakwaannya yang berjumlah 63 lembar, sesekali Akil tertunduk. Sebelum masuk ruang sidang, ia menegaskan siap menghadapi kasus yang melilitnya.
Sidang Akil menarik perhatian banyak orang. Termasuk hakim konstitusi yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meski sudah dua kali gagal fit and proper test, Patrialis Akbar. Patrialis Akbar duduk di bangku pengunjung sidang barisan depan.
Dalam ruang sidang yang berbeda, Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit Bintih, mengaku menyesal berusaha menyuap Akil Mochtar terkait dengan pengurusan perkara sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang diajukan pasangan Jaya Samaya Monong-Daldin. Penyesalan itu disampaikan Hambit saat sidang tersebut melakukan pemeriksaan terdakwa.
"Dalam konteks ini saya sangat menyesal. Apa pun alasannya, yang namanya menyuap melanggar hukum. Jadi, saya menyesal," kata Hambit.
Hal yang sama diungkapkan anggota DPR Chairun Nisa pada persidangan lain lagi. Dia bahkan terlihat tak kuasa menahan air matanya saat mengungkapkan penyesalannya itu.
"Saya menyesal karena karier yang saya bina selama lima belas tahun hancur. Peristiwa ini bagai tsunami bagi saya. Niat saya hanya menolong Pak Hambit tanpa janji pemberian imbalan apa pun," kata Chairun Nisa. (Nefan Kristiono)
Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg

0 komentar:

Post a Comment

Social Icons

Followers