JAKARTA
(Suara Karya): Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
didakwa telah menerima uang Rp 50 miliar dari sedikitnya lima sengketa
pemilihan kepala daerah (pilkada). Akil diancam dengan hukuman maksimal
berupa penjara selama
20 tahun.
Saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis
(20/2), jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Pulung Rinandoro, mengungkapkan bahwa Akil menerima lebih dari Rp
50 miliar dari seluruh pengurusan sengketa pilkada tersebut.
Ada lima dakwaan yang membuatnya bisa mendekam di penjara selama itu
sebagaimana diungkapkan JPU KPK dalam surat dakwaan terhadap Akil.
Dalam dakwaan pertama, JPU KPK menyatakan Akil menerima Rp 3 miliar
untuk permohonan keberatan atas hasil pilkada Kabupaten Gunung Mas,
Kalimantan Tengah; untuk mengabulkan keberatan atas hasil sengketa
pilkada Kabupaten Lebak, Banten, dia minta Rp 1 miliar. Selanjutnya
menerima Rp 10 miliar dan 500 ribu dolar AS untuk permohonan keberatan
hasil pilkada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan.
Untuk mengurus permohonan hasil pilkada Kota Palembang, Akil minta Rp
19,86 miliar dan sekitar Rp 500 juta untuk mengurus permohonan keberatan
atas hasil pilkada Kabupaten Lampung Selatan.
"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan
yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga
merupakan beberapa kejahatan berupa menerima hadiah atau janji berkaitan
dengan jabatannya," ujar Pulung Rinandoro saat membacakan surat dakwaan
atas nama Akil di hadapan majelis hakim yang diketuai Suwidya.
Atas perbuatan itu, Akil diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan kedua, Akil didakwa menerima gratifikasi yang diduga
diberikan untuk memengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas
hasil pilkada di Kabupaten Buton. Untuk itu, dia diduga menerima Rp 1
miliar.
Dia juga menerima dana untuk memengaruhi sengketa pilkada Kabupaten
Pulau Morotai sebesar Rp 2,989 miliar. Selanjutnya Akil juga didakwa
menerima Rp 1,8 miliar untuk memengaruhi sengketa hasil pilkada
Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain itu, ada Rp 10 miliar yang diterimanya
untuk memengaruhi permohonan keberatan hasil pilkada Jawa Timur.
Atas perbuatan itu, Akil diancam Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Pada dakwaan ketiga Akil disebut telah menyalahgunakan kekuasaannya
untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri saat Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem diminta memberikan
kepadanya uang Rp 125 juta.
Hal itu dilakukannya usai Alex menanyakan permohonan keberatan atas
hasil pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven
Digoel. Namun, Akil menyebutnya sebagai ongkos konsultasi ditambah
dengan permintaan agar selaku Ketua MK membantu mempercepat putusan
sengketa itu.
Untuk perbuatan itu, Akil diancam pidana sesuai Pasal 12 huruf e
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat
(1) KUHPidana.
Pada dakwaan keempat Akil disebut menerima hadiah uang sekitar Rp 7,5
miliar dari adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri
Wardana alias Wawan. Pemberian itu diduga karena Akil menggunakan
kekuasaannya sebagai Ketua MK untuk mengurus hasil sengketa pilkada di
Provinsi Banten.
Untuk tindakannya itu, Akil diancam pidana dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1)
KUHPidana.
Sedangkan pada dakwaan kelima, Akil disebut bersama Muhtar Efendy dari
22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013 didakwa telah melakukan tindak
pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatannya itu diancam pidana Pasal 3
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Akil juga didakwa melakukan praktik pencucian uang sejak 17 April 2002
sampai dengan 21 Oktober 2010. Untuk itu, dia diancam pidana pada Pasal 3
ayat (1) huruf a dan c Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal
65 ayat (1) KUHPidana.
Selama mendengarkan pembacaan berkas dakwaannya yang berjumlah 63
lembar, sesekali Akil tertunduk. Sebelum masuk ruang sidang, ia
menegaskan siap menghadapi kasus yang melilitnya.
Sidang Akil menarik perhatian banyak orang. Termasuk hakim konstitusi
yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meski sudah dua kali
gagal fit and proper test, Patrialis Akbar. Patrialis Akbar duduk di
bangku pengunjung sidang barisan depan.
Dalam ruang sidang yang berbeda, Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit
Bintih, mengaku menyesal berusaha menyuap Akil Mochtar terkait dengan
pengurusan perkara sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah
(Kalteng), yang diajukan pasangan Jaya Samaya Monong-Daldin. Penyesalan
itu disampaikan Hambit saat sidang tersebut melakukan pemeriksaan
terdakwa.
"Dalam konteks ini saya sangat menyesal. Apa pun alasannya, yang
namanya menyuap melanggar hukum. Jadi, saya menyesal," kata Hambit.
Hal yang sama diungkapkan anggota DPR Chairun Nisa pada persidangan
lain lagi. Dia bahkan terlihat tak kuasa menahan air matanya saat
mengungkapkan penyesalannya itu.
0 komentar:
Post a Comment