Mendengar
kata ‘Jepang’ pasti yang tersirat adalah kemajuan dan ilmu teknologinya
yang maju. Walau pada tahun 1945 Jepang hancur lebur oleh kedahsyatan
Bom Atom tidak jauh dengan Kemerdekaan Indonesia, Saat ini Jepang sudah
menjadi negara yang sangat maju dan canggih. Berbeda sekali dengan
Indonesia yang masih banyak pejabat yang justru berebut kekuasaan dan
korupsi.
Keberhasilan
Jepang bukan tanpa kerja keras karena Jepang di bangun dengan pondasi
yang sangat baik tidak hanya masyarakatnya tapi juga pejabat-pejabat
negaranya yang serius untuk mengurus negara.
Berikut ini merupakan kisah dari seorang bloger Indonesia
yang bekerja di jepang yang mencatat tentang 10 Kebiasaan Orang Jepang
Yang Menjadikan Jepang menjadi Negara yang sangat maju:
1. Budaya Baca
Jangan
kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik),
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca
buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang
memanfaatkan waktu di densha untuk membaca.
Banyak
penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk
materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran
Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat
minat baca masyarakat semakin tinggi. Budaya baca orang Jepang juga
didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing
(bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon
kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun
1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang
sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah
tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.
2. Malu
Malu
adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh
diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai,
yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern,
wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para
pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau
merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah
anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau
tidak naik kelas.
Karena
malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah
jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar
peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3. Hidup Hemat
Orang
Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti
konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di
masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan
banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam
19:30.
Selidik
punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket
di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar
setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di
Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.
4. Loyalitas
Loyalitas
membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan
rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang
orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan
di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari
Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate,
yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang
garapan (core business) perusahaan.
5. Inovasi
Jepang
bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam
meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang
diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang
mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu.
Cassete
Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan
Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling
model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun
adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun
1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total
produksi mencapai 150 juta produk.
Teknik
perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang,
patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya
bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan
murah.
6. Pantang Menyerah
Sejarah
membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang
menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua
akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika
restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi
dan menjadi fast-learner.
Kemiskinan
sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya
menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85%
sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia.
Kabarnya
kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah
Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai
dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah
perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo .
Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang
sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat
(shinkansen) .
Mungkin
cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur
dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945
masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga
menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya
menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang
mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony
Walkman-nya.
Yang
juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari
kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku
(ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini.
7. Kerja Keras
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras.
Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat
tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911
jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun).
Seorang
pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari,
sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil
yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa
melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang
cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang,
dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan”
oleh perusahaan.
8. Kerjasama Kelompok
Budaya
di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat
individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan
untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia
kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu,
mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja
dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang.
Ada
anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang
professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa
mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah
mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam
kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.
9. Mandiri
Sejak
usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak Orang Indonesia
yang bekerja di Jepang yang paling gede sempat merasakan masuk TK
(Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti,
bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan
sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya.
Di
Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan
bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk
bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang
tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan
kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun
kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti
mereka kembalikan di bulan berikutnya.
10. Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua
Perkembangan
teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi
dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja
masih ada dan hidup sampai saat ini.
Budaya
minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda
naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget
kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.
Sampai
saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila
mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam
pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang
Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang.
Persaingan
keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak
menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya.
Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan
pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang
yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan
salah satu yang tertinggi di dunia.
Sumber: Duniaperpustaka
0 komentar:
Post a Comment