Pertama :
Asal dari perkara ibadah (yang dilakukan)
adalah sah, dan penetapan atas pembatalannya membutuhkan dalil. Berdasarkan
atas hal ini, dituntut bagi orang yang mendakwakan batalnya (ibadah tersebut)
untuk membawakan dalil. Di sini, tidak ada dalil sharih yang menyatakan
batalnya puasa akibat onani.
Kedua :
Penyamaan onani dengan jima’ adalah penyamaan
secara qiyas, dan itu merupakan qiyas faasid ditinjau dari dua sisi :
1.
Tidak sahnya ‘illat.
Orang
yang mengqiyaskan onani dengan jima’ meninjaunya dari dua hal berikut :
a.
Kesenangan/kenikmatan
(al-ladzdzah - اللذّة) atau syahwat (الشهوة).
Jawab
: Kenikmatan dalam jima’ itu lebih kuat dan lebih jelas dibandingkan kenikmatan
dalam onani, sedangkan syarat adanya penyamaan (dalam qiyas) adalah
keberadaan sifat yang ada dalam cabang (al-far’) sebanding dengan
pokoknya (al-ashl) atau lebih kuat.
b.
Keluarnya mani.
Jawab
: Hal ini tidak sah dijadikan ‘illat dalam qiyas, karena tidak
ada hubungannya dengan sifat yang diqiyaskan. Jima’ tanpa disertai keluarnya
mani tetap membatalkan puasa berdasarkan ijma’. Seandainya ‘illat-nya
adalah keluarnya mani, konsekuensinya : jima’ tidaklah membatalkan puasa
kecuali jima’ yang mengeluarkan mani. Oleh karena itu, selama keluarnya mani
dalam jima’ tidak dianggap sebagai pembatal puasa, maka tidak sah menjadikannya
sebagai ‘illat dalam qiyas (terhadap onani).
2.
Penempatan onani
pada jima’ mengkonsekuensikan penetapan hukum-hukum jima’ pada onani. Dengan
itu dikatakan : Onani itu seperti jima’ yang membatalkan puasa dan wajib
membayar kaffarah. Akan tetapi kenyataannya, orang yang mengatakan onani
membatalkan puasa tidak mewajibkan kaffarah padanya.
Seandainya
dikatakan kaffaarah hanya masuk dalam bab celaan, maka onani yang
statusnya diharamkan (dalam segala kondisi) lebih layak untuk
mengkonsekuensikan kaffaarah dibandingkan jima’ yang hanya dilarang pada
waktu puasa. Seandainya dikatakan kaffaarah merupakan bentuk celaan dan
pemaksaan (untuk melakukannya), maka hukum jima’ dan onani hakekatnya satu
(sama) dikarenakan pelanggaran kehormatan hari puasa akibat syahwat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda :
يَتْرُكُ طَعَامَهُ، وَشَرَابَهُ، وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ
لِي
“....Ia meninggalkan makanannya,
minumannya, dan syahwatnya dikarenakan puasanya untuk-Ku...” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1894 & 7492, Muslim no. 1151, Ibnu Maajah no. 1638,
Ad-Daarimiy no. 1770, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini dijadikan dalil bahwa onani
membatalkan puasa. Jika dikatakan bahwa lafadh syahwat dalam hadits ini
adalah umum, sehingga dipahami mencakup jima’ dan onani, namun mengapa mereka
tidak memasukkan bermesra-mesraan dan mencium dengan istri sebagai pembatal
puasa (tanpa mengeluarkan mani) ? padahal ia masuk dalam keumuman lafadh
tersebut (syahwat).
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: عَنْ شُعْبَةَ، عَنِ
الْحَكَمِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan
bin Harb, ia berkata : Dari Syu’bah, dari Al-Hakam, dari Ibraahiim, dari
Al-Aswad, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bermesraan (dengan istrinya) ketika
sedang berpuasa. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling kuat menahan keinginannya (hawa nafsunya) di antara kalian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1927].
Dan dengan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhu ini dapat diketahui bahwa syahwat yang dimaksudkan dalam
hadits sebelumnya adalah jima’.
حَدَّثَنَا رَبِيعٌ الْمُؤَذِّنُ، قَالَ: ثنا شُعَيْبٌ، قَالَ: ثنا اللَّيْثُ،
عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الأَشَجِّ، عَنْ أَبِي مُرَّةَ، مَوْلَى عَقِيلٍ
عَنْ حَكِيمِ بْنِ عِقَالٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
" مَا يَحْرُمُ عَلَيَّ مِنَ امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَتْ: فَرْجُهَا
"
Telah menceritakan kepada kami Rabii’
Al-Muadzdzin, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Bukair bin ‘Abdillah bin
Al-Asyajj, dari Abu Murrah maulaa ‘Aqiil, dari Hakiim bin ‘Iqaal : Bahwasannya
ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Apa yang
diharamkan dari istriku sedangkan aku berpuasa ?”. Ia menjawab : “Farji
(kemaluan)-nya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar
no. 2190; sanadnya shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلابَةَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنَ امْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلُّ
شَيْءٍ إِلا الْجِمَاعَ "
Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu
Qilaabah, dari Masruuq, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah tentang apa
yang dihalalkan bagi seorang laki-laki yang berpuasa terhadap istrinya. Ia
menjawab : “Semua hal, kecuali jima’” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
8439].
Riwayat Ma’mar dari Ayyuub diperbincangkan
oleh sebagian ahli hadits, namun dikuatkan oleh riwayat sebelumnya sehingga
shahih.
Ash-Shan’aniy berkata :
الأظهر أنه لا قضاء ولا كفارة إلا على من جامع وإلحاق غير المجامع به بعيد.
“Tapi pendapat yang paling benar adalah tidak
perlu qadla’ dan tidak perlu kaffarat, kecuali bagi orang yang
melakukan jima’. Dan menyamakan sebab lain dengan jima’ adalah tidak
benar” [Subulus-Salaam oleh Ash-Shan’aniy, 2/226; Daarul-Hadiits,
Cet. Thn. 1425].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga bahasan sederhana ini bermanfaat.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri –
30072012 - direvisi tanggal 02082012 dengan penambahan riwayat 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa].
0 komentar:
Post a Comment